Salah satu indikator keberhasilan
pendidikan secara mikro di tataran pembelajaran level kelas adalah tatkala
seorang guru mampu membangun motivasi belajar para siswanya. Jika siswa-siswa
itu dapat ditumbuhkan motivasi belajarnya, maka sesulit apapun materi pelajaran
atau proses pembelajaran yang diikutinya niscaya mereka akan menjalaninya
dengan “enjoy” dan “pede”.
A.
Pengertian Motivasi
Banyak pakar yang merumuskan
definisi ‘motivasi’ sesuai dengan kajian yang diperdalamnya. Rumusannya
beraneka ragam, sesuai dengan sudut pandang dan kajian perspektif bidang
telaahnya. Namun demikian, ragam definisi tersebut memiliki ciri dan kesamaan.
Di bawah ini dideskripsikan beberapa kutipan pengertian ‘motivasi’. Michel J.
Jucius (Onong Uchjana Effendy,) menyebutkan ‘motivasi’ sebagai “kegiatan
memberikan dorongan kepada seseorang atau diri sendiri untuk mengambil suatu
tindakan yang dikehendaki”, Menurut Dadi Permadi motivasi’ adalah “dorongan dari dalam untuk
berbuat sesuatu, baik yang positif maupun yang negatif”.
Sedangkan menurut Ngalim
Purwanto , apa saja yang diperbuat manusia, yang penting maupun kurang penting,
yang berbahaya maupun yang tidak mengandung resiko, selalu ada motivasinya. Ini
berarti, apa pun tindakan yang dilakukan seseorang selalu ada motif tertentu
sebagai dorongan ia melakukan tindakannya itu. Jadi, setiap kegiatan yang dilakukan
individu selalu ada motivasinya Lantas, Nasution membedakan antara ‘motif’ dan
‘motivasi’. Motif adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu, sedangkan motivasi adalah usaha-usaha untuk menyediakan
kondisi-kondisi, sehingga orang itu mau atau ingin melakukannya.
Berdasarkan
deskripsi di atas, ‘motivasi’ dapat dirumuskan sebagai sesuatu kekuatan atau
energi yang menggerakkan tingkah laku seseorang untuk beraktivitas. Motivasi
dapat diklasifikasikan menjadi dua: (satu) motivasi intrinsik, yaitu motivasi
internal yang timbul dari dalam diri pribadi seseorang itu sendiri, seperti
sistem nilai yang dianut, harapan, minat, cita-cita, dan aspek lain yang secara
internal melekat pada seseorang; dan (dua)
motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi eksternal yang muncul dari luar diri
pribadi seseorang, seperti kondisi lingkungan kelas-sekolah, adanya ganjaran
berupa hadiah (reward) bahkan karena merasa takut oleh hukuman (punishment)
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi)
B.
Pengertian Belajar
Banyak definisi yang diberikan
tentang ‘belajar’. Misalnya Gage mengartikan ‘belajar’
sebagai suatu proses di mana organisma berubah perilakunya.Cronbach
mendefinisikan belajar: “learning is shown by a change in behavior as a result
of experience” (belajar ditunjukkan oleh suatu perubahan dalam perilaku
individu sebagai hasil pengalamannya). Harold Spears mengatakan bahwa: learning
is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to
follow direction” (belajar adalah untuk mengamati, membaca, meniru, mencoba
sendiri sesuatu, mendengarkan, mengikuti arahan). Adapun Geoch, menegaskan
bahwa: “learning is a change in performance as result of practice.” (belajar
adalah suatu perubahan di dalam unjuk kerja sebagai hasil praktik), Kemudian,
menurut Ratna Willis Dahar “belajar didefinisikan sebagai perubahan perilaku
yang diakibatkan oleh pengalaman”. Paling sedikit ada lima macam perilaku perubahan pengalaman dan
dianggap sebagai faktor-faktor penyebab dasar dalam belajar:
Pertama, pada tingkat emosional
yang paling primitif, terjadi perubahan perilaku diakibatkan dari perpasangan
suatu stimulus tak terkondisi dengan suatu stimulus terkondisi. Sebagai suatu
fungsi pengalaman, stimulus terkondisi itu pada suatu waktu memeroleh kemampuan
untuk mengeluarkan respons terkondisi. Bentuk semacam ini disebut responden,
dan menolong kita untuk memahami bagaimana para siswa menyenangi atau tidak
menyenangi sekolah atau bidang-bidang studi.
Kedua, belajar kontiguitas,
yaitu bagaimana dua peristiwa dipasangkan satu dengan yang lain pada suatu
waktu, dan hal ini banyak kali kita alami. Kita melihat bagaimana asosiasi ini
dapat menyebabkan belajar dari ‘drill’ dan belajar stereotipe-stereotipe.
Ketiga, kita belajar bahwa
konsekuensi-konsekuensi perilaku memengaruhi apakah perilaku itu akan diulangi
atau tidak, dan berapa besar pengulangan itu. Belajar semacam ini disebut
belajar operant.
Keempat,
pengalaman belajar sebagai hasil observasi manusia dan kejadian-kejadian. Kita
belajar dari model-model dan masing-masing kita mungkin menjadi suatu model
bagi orang lain dalam belajar observasional.
Kelima, belajar kognitif terjadi
dalam kepala kita, bila kita melihat dan memahami peristiwa-peristiwa di sekitar
kita, dan dengan insight, belajar menyelami pengertian.
Akhirnya, Depdiknas mendefinisikan
‘belajar’ sebagai proses membangun makna/pemahaman terhadap informasi dan/atau
pengalaman. Proses membangun makna tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siswa
atau bersama orang lain. Proses itu disaring dengan persepsi, pikiran
(pengetahuan awal), dan perasaan siswa. Belajar bukanlah proses menyerap
pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru. Hal ini terbukti, yakni hasil
ulangan para siswa berbeda-beda padahal mendapat pengajaran yang sama, dari
guru yang sama, dan pada saat yang sama. Mengingat belajar adalah kegiatan
aktif siswa, yaitu membangun pemahaman, maka partisipasi guru jangan sampai
merebut otoritas atau hak siswa dalam membangun gagasannya.
Dengan
kata lain, partisipasi guru harus selalu menempatkan pembangunan pemahaman itu
adalah tanggung jawab siswa itu sendiri, bukan guru. Misal, bila siswa bertanya
tentang sesuatu, maka pertanyaan itu harus selalu dikembalikan dulu kepada
siswa itu atau siswa lain, sebelum guru memberikan bantuan untuk menjawabnya.
Seorang siswa bertanya, “Pak/Bu, apakah tumbuhan punya perasaan?” Guru yang
baik akan mengajukan balik pertanyaan itu kepada siswa lain sampai tidak ada
seorang pun siswa dapat menjawabnya. Guru kemudian berkata, “Saya sendiri tidak
tahu, tetapi bagaimana jika kita melakukan percobaan?”. selamat mencoba
0 komentar:
Post a Comment